Minggu, 01 Juli 2012

Proses Pembuatan Bioethanol




Etanol (etil alkohol) merupakan  salah  satu produk  mikrobial  yang  diproduksi pada fase eksponensial.  Alkohol  sudah  dikenal  sejak  zaman  dahulu,  dan  sekarang  pneggunaanya  sudah  sangat  luas  terutama  di  bidang  industri  (Tjokroadikoesoemo,1993).  Etanol  disebut  juga  etil  etanol dengan rumus kimia CH3CH2OH di bidang industri dapat digunakan sebagai bahan bakar alat pemanas,  penerangan,  atau  pembangkit tenaga, pelarut bahan kimia,  obat-obatan,  detergen,  oli  dan  lilin.Selain itu  etanol juga digunakan dalam keperluan  dilaboratorium ataupun keperluan  rumah  tangga.Etanol  tidak  hanya   dapat  dibentuk  oleh  mikroba  saja,  tetapi  banyak  jenis  tumbuhan  dan  fungi  mampu  membentuk  etanol.Khamir  seperti  juga  pada  jenis-jenis  fungi  lainnya  merupakan  organisme  aerob.Dalam  lingkungan  tanpa  oksigen  khamir  mampu  memfermentasikan  karbohidrat  menjadi  etanol  dan  karbondioksida  pada  beberapa  jenis bakteri anaerob  dan  bakteri  fakultatif  anaerob,  senyawa  heksosa  dan  pentosa  dapat  di  fermentasikan menjadi alkohol sebagai produk utama / produk samping (Schlegel, 1994).
Bio-etanol  merupakan  salah  satu  jenis  biofuel  (bahan  bakar  cair  dari  pengolahan tumbuhan)  di  samping  Biodiesel.  Bio-etanol  adalah etanol yang  dihasilkan dari  fermentasi glukosa  (gula)  yang  dilanjutkan  dengan  proses  destilasi.  Proses  destilasi  dapat menghasilkan  etanol  dengan  kadar  95%  volume,  untuk  digunakan  sebagai  bahan  bakar (biofuel)  perlu lebih  dimurnikan  lagi  hingga  mencapai  99%  yang  lazim   disebut  fuel  grade ethanol  (FGE).  Proses  pemurnian  dengan  prinsip  dehidrasi  umumnya  dilakukan  dengan metode Molecular Sieve, untuk memisahkan air dari senyawa etanol.
Produksi ethanol/bioethanol (atau alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bioethanol ditunjukkan pada Tabel 1

Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol

Bahan Baku

Kandungan Gula Dalam Bahan Baku
(Kg)


Jmlh Hasil Konversi Bioethanol (Liter)

Perbandingan Bahan Baku dan Bioethanol
Jenis
Konsumsi (Kg)
Ubi Kayu
1000
250-300
166,6
6,5 : 1
Ubi Jalar
1000
150-200
125
8 : 1
Jagung
1000
600-700
200
5 : 1
Sagu
1000
120-160
90
12 : 1
Tetes
1000
500
250
4 : 1



Lignoselulosa mengandung tiga komponen penyusun utama, yaitu selulosa (30-50%-berat), hemiselulosa (15-35%-berat), dan lignin (13-30%-berat). Salah satu BBN yang dapat dihasilkan dari lignoselulosa adalah bioetanol generasi kedua. Proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol terjadi melalui tiga tahap dasar, yaitu:       
1. Pengolahan awal
 atau delignifikasi, agar selulosa dapat dicapai oleh enzim selulase dan air,      
2.
 Hidrolisis dengan enzim khusus, dan        
3.
 Fermentasi menjadi etanol.

picture1.png
  
Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan bantuan enzim selulase atau, tetapi umumnya tak dipilih, dengan bantuan asam. Hemiselulosa dapat dihidrolisis menjadi pentosa (terutama xilosa) dan heksosa (minor) dengan bantuan asam encer atau enzim hemiselulase.
Glukosa dan heksosa lain dapat difermentasi menjadi etanol oleh ragi Saccharomyces cerevisiae dengan reaksi :
C6H12O6 –>2 C2H5OH + 2 CO2
Xilosa dan pentosa lain dapat difermentasi menjadi etanol oleh ragi yang sesuai (seperti Pichia stipitis) dengan mekanisme reaksi :
3 C5H10O5 –> 5 C2H5OH + 5 CO2
atau dikonversi menjadi produk lain (xilitol, furfural, dan lain-lain).



picture2.png

                                                                                                                             
Sumber : Slide Kuliah Teknologi Kemurgi oleh Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja dalam http://majarimagazine.com
Keunggulan Bioetanol sebagai bahan bakar
Bioethanol adalah ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Bioethanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun mampu juga menurunkan emisi CO2. Dalam hal prestasi mobil, bioethanol dan gasohol (kombinasi bioethanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin. Pada dasarnya pembakaran bioethanol tidak menciptakan CO2 netto ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioethanol. Bioethanol bisa didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, gandum, singkong, padi, lobak, gandum hitam.Biodiesel serupa dengan bioethanol, biodiesel telah digunakan di beberapa negara sebagai pengganti solar.
Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, jarak pagar, kapok. Kadar sulfur yang relatif rendah serta angka cetane yang lebih tinggi menambah daya tarik penggunaan biodiesel dibandingkan solar. Seperti diketahui, tingginya kandungan sulfur merupakan slah satu kendala dalam penggunaan mesin diesel.Green Transport FuelDua minyak berbahan dasar tumbuhan tersebut (bioethanol & biodiesel) saat ini mendapat perhatian besar dan penggunaannya cukup besar di negara-negara maju. Faktor yang memicu peningkatan bahan bakar ethanol adalah berlakunya peraturan reduksi emisi gas rumah kaca, yaitu Clean Air Act 1990 (di Amerika Serikat) dan Kyoto Protocol.

Supply ethanol sebagai bahan pencampur minyak fosil beberapa tahun belakangan ini menandakan dimulainya era bahan bakar hijau (green transport fuels). Produk minyak yang sangat ramah lingkungan ini lebih populer disebut gasohol. Gasohol diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan meningkatkan kesejahteraan jutaan petani yang menanam tanaman untuk bahan baku ethanol.Berikut merupakan beberapa keunggulan dari penggunaan ethanol sebagai bahan bakar. Diproduksi dari tanaman yang bersifat renewable.Mengandung kadar oksigen sekitar 35% sehingga dapat terbakar lebih sempurna.Penggunaan gasohol dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.Pembakaran tidak menghasilkan partikel timbal dan benzene yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker).Mengurangi emisi fine-particulates yang membahayakan kesehatan manusia.Mudah larut dalam air dan tidak mencemari air permukaan dan air tanah.
Produksi Bioethanol
Prinsip pembuatan etanol sangat sederhana, etanol berkadar 6-12% dimasukan ketangki evaporator dan dipanaskan sampai temperatur 78 C (titik didih etanol). Temperatur ini perlu dijaga karena jika temperatur didalam evaporator melewati 80 C, uap air akan ikut masuk kealat destilasi. uap etanol dialirkan alat destilasi, dialam alat destilasi uap etanol akan terkondensasi menjadi etanol cair.

Sumber : http://www.htysite.com
PROSES GELATINASI     

Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:      
• Bubur pati dipanaskan sampai 130o C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95o C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95o C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.           
• Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130o C selama 2 jam.            

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95o C aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130o C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung ( gelatinasi dengan enzyme termamyl ) pada temperature 130o C menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130o C akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95o C. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93o C, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107o C, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981).          

Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.            
Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara tersebut adalah sebagai berikut:
a. Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.    
b. NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.   
Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk.
Bahan aktif ragi roti adalah khamir Saccharomyces cereviseae yang dapat memfermentasi gula menjadi etanol. Ragi roti mudah dibeli di toko-toko bahan-bahan kue atau di supermarket. Sebaiknya tidak menggunakan ragi tape, karena ragi tape terdiri dari beberapa mikroba. Kebutuhan ragi roti adalah sebanyak 0.2% dari kadar gula dalam larutan molasses. Untuk contoh di atas kebutuhan raginya adalah sebanyak 28 gr. 
Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian diaduk-aduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.
PROSES FERMENTASI   
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami     dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).           
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32o C.     Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78o C sedangkan air adalah 100o C (Kondisi standar).            
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100o C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.                        

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas - gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethano l/ bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 
dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah          
“volume ethanol pada temperatur 15o C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan 
kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C (Wasito, 1981). 
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
PROSES DISTILASI ( PENYULINGAN ):
Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu continuous-feed distillation column system dan pot-type distillation system. Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan tekanan rendah dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah 35o C dan 20o C di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati disajikan pada Gambar 49, sedangkan Gambar dibawah ini menunjukkan proses produksi FGE dari ubi kayu.
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic destilasi.
Sumber : http://www.htysite.com
REFERENSI
Sumber : http://www.htysite.com
Hartoyo, Dwi.2002. Pembuatan Bioethanol”.( http://www.htysite.com/bio%20etanol%2002.htm,diunduh pada 31 juni 2012)
Pintar, Anak.2010. “Bioethanol”.( http://anakpintarunhas.blogspot.com/2011/10/bioetanol.html, diunduh pada 31 juni 2012)
Shofinita, Dyan.2009.“Bioethanol Generasi Kedua”(http://majarimagazine.com/2009/02/bioetanol-generasi-kedua/, diunduh pada 31 Juni 2012)


1 komentar: